Membangun Fondasi Keberhasilan Yang Kuat dengan Belajar
Mandiri
Perlu kita sadari bahwa dunia pendidikan kita terus
melemah dan semakin jauh dari cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap
akhir tahun pelajaran, kita selalu diingatkan tentang tingkat keberhasilan
kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan dalam enam tahun sekolah dasar,
tiga tahun sekolah menengah pertama, dan tiga tahun sekolah menengah atas. Hasilnya,
presentasi kelulusan siswa di tiap jenjang pendidikan amat jarang mencapai
angka sempurna. Grafik kelulusan nasional tampak berantakan, terkadang
meningkat dengan drastis, menukik tajam, naik-turun pada kisaran angka standar.
Masalah-masalah yang berakar dari ketidakdisiplinan masih terus mewarnai penyelenggaraan Ujian Nasional. Dari sudut
pandang tersebut, kita dinyatakan belum berhasil dalam pendidikan.
Kenyataannya, pendidikan adalah dasar dari semua sektor yang ada. Maka sudah jelas kegagalan ini merupakan jawaban
dari berbagai masalah dalam NKRI. Lalu kapan kita berhasil?
Pendidikan nasional kita tidak cukup
baik. Namun, kesadaran kita rupanya masih jauh dibawah. Terkadang kita memang
lupa bahwa ada kehidupan orang lain selain kehidupan kita, ada negara lain
selain Indonesia. Ada baiknya kita menengok ke kancah internasional, dimana
posisi kita dalam pendidikan dunia. Berdasarkan penilaian yang dikeluarkan
Quacquarelli Symonds (QS) Wold University Ranking 2011/2012 pada 5 September
2011, Universitas Indonesia (UI) berada pada peringkat ke-217 dan ditempatkan sebagai
satu-satunya Perguruan Tinggi di Indonesia yang masuk dalam Top 300
Universities of The World. Posisi UI sebagai wakil Indonesia dalam bidang
pendidikan memang mengagumkan dan kita perlu bangga akan prestasi gemilang dari
Perguruan Tinggi terbaik yang dimiliki Indonesia ini. Universitas Indonesia
sebagai yang terbaik merupakan tempat berkumpulnya pelajar terbaik
se-Indonesia. Namun di Indonesia terdapat lebih dari 3.070 Perguruan Tinggi.
Bagaimanakah posisi yang lain dalam pendidikan dunia? Sedangkan hanya 17
Perguruan Tinggi Indonesia yang masuk nominasi 500 Perguruan Tinggi terbaik
dunia. Mengapa begitu? Maka kita beralih ke dalam lingkup yang paling
sederhana, yaitu di dalam ruang kelas belajar, dimana kepribadian belajar siswa
akan terlihat jelas.
Rata-rata dari jumlah 40 siswa di
kelas, hanya terbatas kurang dari 5 siswa yang benar-benar memperhatikan penjelasan
guru. Dari jumlah yang sangat kecil tersebut, hanya 1 atau 2, bahkan tidak ada
sama sekali, yang benar-benar memiliki kesadaran akan belajar. Beberapa malah
merasa bahwa rangkaian proses pendidikan yang mereka dapatkan adalah sebuah
keterpaksaan yang harus mereka jalani. Masalahnya, banyak yang tidak menyadari
akan arti pentingnya pendidikan, kebanyakan pelajar menggantungkan diri pada
pendidik mulai dari proses belajar hingga sarana, kemandirian diri dan
kedisiplinan yang masih rendah. Buku sumber yang menjadi bahan pembelajaran di kelas
akan menjadi satu-satunya, bahkan kebanyakan merasa rugi apabila buku sumber
yang mereka beli atau dapatkan tidak sama dengan yang dimiliki pendidik.
Padahal sebenarnya perbedaan tersebut justru akan memperkaya. Buku-buku
tersebut tidak akan dibaca apabila tidak ada tugas atau jadwal ulangan. Apabila
terjadi kekosongan pendidik dalam proses pembelajaran, maka para siswa
cenderung melakukan aktivitas diluar kegiatan pembelajaran mereka, seperti
bergosip, bergurau, dan sebagainya. Pekerjaan rumah sebagai upaya agar para
siswa dapat mengerti materi pelajaran yang didapatkan dan sebagai salah satu
cara untuk memanfaatkan waktu luang di rumah bahkan sering ditunda
penyelesaiannya di sekolah atau tidak diselesaikan. Jarang sekali kita temukan
pelajar yang benar-benar menekuni belajarnya sebagai sebuah kewajiban dan
rutinitas. Kurang lebih begitulah potret kebanyakan pelajar.
Pembenahan total adalah kebutuhan
kita saat ini. Pertama-tama perlu adanya kesadaran dalam diri kita semua
tentang makna pentingnya pendidikan dan pengaruhnya yang luar biasa terhadap
semua sektor di dunia. Sementara itu, dukungan eksternal bagi proses
pembelajaran sudah cukup memadai. Teknologi semakin maju dan mempersembahkan
berbagai kemudahan yang adil merata untuk semua bidang, termasuk pendidikan. Penemuan-penemuan
dalam bidang pendidikan tidak kunjung habis, baik yang berwujud sistem maupun
barang, semuanya membantu dalam proses pembelajaran. Contoh yang paling konkret
adalah Internet. Kita bisa mengakses informasi apapun, darimanapun, kapanpun.
Masih banyak contoh lain yang sering kita rasakan manfaatnya dalam proses
belajar kita. Namun penggunaannya seringkali tidak sesuai dengan tujuan yang
seharusnya. Teknologi menciptakan kemudahan yang melenakan sekaligus membuat
zaman semakin terasa sulit. Para pakar pendidikan kemudian mengembangkan suatu
teori mengenai gaya belajar yang dinilai efektif dan efisien. Gaya belajar ini
adalah Belajar Mandiri (Self-directed Learning).
Belajar Mandiri (Self-directed
Learning) bukan berarti belajar sendiri,
melainkan berarti belajar dengan inisiatif dari diri sendiri, dengan atau tanpa
bantuan orang lain dalam belajar. Pelajar tidak diharapkan menjadi orang yang
tidak memerlukan bantuan pihak lain, namun menjadi orang yang tahu kapan dan
pada siapa ia membutuhkan bantuan. Bantuan yang dimaksudkan
bisa dalam beraneka bentuk sesuai kebutuhan. Misalnya saja buku sumber
pendukung pembelajaran, sumber informasi, saran, masukan, nasehat, dukungan,
motivasi, dan sebagainya.
1.
Setiap individu
siswa berusaha meningkatkan tanggung jawab untuk mengambil berbagai keputusan
dalam usaha belajarnya;
2.
Belajar mandiri
dipandang sebagai suatu sifat yang sudah ada pada setiap orang dan situasi
pembelajaran;
3.
Belajar mandiri
bukan berarti memisahkan diri dengan orang lain;
4.
Dengan belajar
mandiri, siswa dapat mentransfer hasil belajarnya yang berupa pengetahuan dan
keterampilan ke dalam situasi yang lain;
5.
Siswa yang melakukan
belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas, seperti:
membaca sendiri, belajar kelompok, latihan-latihan, dialog elektronik, dan
kegiatan korespondensi;
6.
Peran efektif
guru dalam belajar mandiri masih dimungkinkan, seperti dialog dengan siswa,
pencarian sumber, mengevaluasi hasil, dan memberi gagasan-gagasan kreatif;
7.
Beberapa
institusi pendidikan sedang mengembangkan belajar mandiri menjadi program yang
lebih terbuka (seperti Universitas Terbuka) sebagai alternatif pembelajaran
yang bersifat individual dan program-program inovatif lainnya.
Self-directed
learning adalah kegiatan belajar mandiri, sedangkan orang yang melakukan
kegiatan belajar mandiri sering disebut siswa mandiri (self-directed learners).
Abdullah, M.H (2001) dalam ERIC digest No. 169 mengatakan self-directed
learners adalah sebagai “para manajer dan pemilik tanggung jawab dari proses
pembelajaran yang mereka lakukan sendiri”. Individu seperti itu mempunyai
keterampilan untuk mengakses dan memproses informasi yang mereka perlukan untuk
suatu tujuan tertentu. Dalam belajar mandiri mengintegrasikan self-management (
manajemen konteks termasuk latar belakang social, menentukan, sumber daya dan
tindakan) dengan yang self-monitoring ( proses siswa dalam memonitor, mengevaluasi,
dan mengatur strategi belajarnya).
Burt Sisco dalam Hiemstra (1998) membuat sebuah model
yang membantu individu untuk menjadi lebih mandiri dalam belajar. Menurut Sisco
ada 6 langkah kegiatan untuk membantu individu menjadi lebih mandiri dalam belajar,
yaitu:
1. Preplanning (aktivitas sebelum proses
pembelajaran),
2. Menciptakan lingkungan belajar yang
positif,
3. Mengembangkan rencana pembelajaran,
4. Mengidentifikasi aktivitas pembelajaran
yang sesuai,
5. Melaksanakan kegiatan pembelajaran dan
monitoring, dan
6. Mengevaluasi hasil pembelajar individu.
Sisco menggambarkan model tersebut di atas dalam bagan sebagai berikut:
Gambar 1
Model Pembelajaran individual (Sumber: Hiemstra. 1998)
Model Pembelajaran individual (Sumber: Hiemstra. 1998)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar